Sabtu, 07 April 2012

Jangan PUAS Dengan Kerja Keras


Lihat sekitarmu.

Lihatlah orang-orang yang kamu temui sehari-hari. Di pasar. Di jalan. Di kantor-kantor maupun di tempat umum. Apa yang mereka lakukan? Sebagian besar bekerja. Terkadang mereka melakukan aktivitas lain, seperti berolahraga, bermain musik, melakukan hobi tertentu. Menurut kamu: Seberapa BAIK mereka melakukannya?

Kemungkinan besar jawabannya adalah: cukup baik. Paling tidak cukup baik untuk TETAP mereka lakukan dari hari ke hari. Mereka tidak dipecat dan bahkan terkadang peran dan jabatannya menanjak. Mereka dapat berolahraga dan bermain musik cukup baik untuk bisa mereka nikmati. Tetapi kenapa hanya sedikit diantara mereka (kalaupun ada) yang melakukan aktivitas mereka dengan kualitas HEBAT dan LUAR BIASA? Bahkan kualitas PRIMA TINGKAT DUNIA?

Kenapa mereka tidak? Kenapa mereka tidak dapat mengelola bisnis seperti Jack Welch? Bermain golf seperti Tiger Woods atau bermain musik seperti Mozart? Padahal, mereka melakukan aktivitas mereka terus-menerus dalam waktu yang lama. Ada yang dua puluh, tiga puluh, empat puluh tahun melakukan pekerjaan atau aktivitasnya. Kenapa waktu yang sangat lama ini tidak cukup untuk menjadikan mereka berkualitas tingkat dunia?

Apakah karena mereka tidak berbakat? Atau mereka tidak serius menjalankan aktivitasnya karena hanya sekedar hobi?

Kenyataannya, banyak diantara mereka yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh keringat selama berpuluh-puluh tahun. Kualitas kerja mereka? Biasa-biasa saja. Bukan kualitas tingkat dunia.

Bahkan ada temuan yang mengherankan: Orang dengan pengalaman kerja yang tinggi tidak lebih baik dalam melakukan pekerjaannya dibandingkan dengan mereka yang pengalamannya sedikit.

Penelitan di sekolah bisnis INSEAD di Perancis dan sekolah pascasarjana U.S. Naval menyebutnya “Perangkap Pengalaman/ Experience Trap”. Hasil penelitian mereka: Setelah studi yang mendalam, rata-rata, manajer yang berpengalaman tidak menghasilkan produksi yang berkualitas tinggi.

Tampak aneh? Bahkan pada beberapa bidang pekerjaan, hal ini menjadi semakin aneh. Mereka cenderung semakin buruk dengan bertambahnya pengalaman. Semakin banyak dokter berpengalaman cenderung nilai pengetahuan medisnya lebih rendah daripada dokter yang tidak berpengalaman. Dokter umun pun menjadi kurang terampil dalam mendiagnosis suara jantung dan gambar sinar x. Auditor menjadi kurang terampil pada beberapa jenis evaluasi.

Berarti dapat kita pahami bahwa kerja keras (saja) tidak menentukan apakah seseorang dapat mencapai kualitas kerja tingkat dunia. Kalau begitu APA yang membuat seseorang menjadi HEBAT TINGKAT DUNIA?

Kita bahas di tulisan berikutnya…

(Referensi: “Talent is Overrated” oleh Geoff Colvin)

Rabu, 03 Agustus 2011

Surga Neraka Berkata..

Ah, nikmatnya!

Hijau sutra

Memeluk dada

Ah, nikmatnya!

Cawan emas

Tuntas dahaga

Ah, nikmatnya!

Mata lentik

Hati tertarik

Ah, nikmatnya!

Wajah tersibak

Bahagia menggelegak!


Aduhai celaka..

Kobar api

Menjelaga

Aduhai celaka…

Zaqqum tersedak

Mata terbelalak

Aduhai celaka…

Nanah memanas

Muka terkelupas

Aduhai celaka..

Tangan terkulai

Usus pun terburai***

Minggu, 05 Juni 2011

Anak Yang Cengeng

Menangis. Lalu berlari menuju kamar. Gara-garanya sih simpel. Berantem ama temen. Harusnya waktu itu baca Al-Qur’an bareng-bareng satu kelompok, eh, malah nangis. Yang tadinya mau baca Qur’an, sekarang malah sesenggukan.


Sambil nahan nangis sesenggukan, anak tadi pergi ke kamar, tempat dia ama temennya satu kelompok nginep selama 4 hari 3 malem. Dia milih nangis di kamar karena malu ama temen-temennya. Apalagi ini baru pertama kali bagi dia ikut ELBOM. Diajak temen sekelas, katanya. Temennya sih tahun kemarin udah pernah ikut.


ELBOM emang selalu jadi satu diantara agenda NUANSA yang banyak ditunggu. Baik oleh panitia. Apalagi peserta. Nggak sedikit peserta yang udah ikut ELBOM lalu ikut lagi tahun depannya. Acaranya yang rame dan seneng-seneng selalu bisa bikin anak-anak SD yang ikut jadi ketagihan. Tapi ELBOM nggak selalu seneng-seneng. Contohnya, anak yang satu ini. Menangis gara-gara dipukul temennya. Entah kenapa dia dipukul. Mungkin maksudnya bercanda. Eh, jadinya beneran.


Sambil sesekali ngusap matanya yang sekarang tambah merah karena nggak bisa nahan nangis, anak itu tambah bingung. Pintunya dikunci! Dia lupa kalau pintu kamar selalu dikunci kalau peserta ELBOM sholat jamaah. Mau balik, malu. Tetep disitu, nggak bisa masuk. Nangis sesenggukan yang tadinya ditahan-tahan, sekarang jadi semakin keluar karena sudah nggak tahan. Meski nggak nangis dengan suara keras, air matanya ngalir deras...


”Kenapa? Mau masuk? Sebentar, ya, mas bukakan,” kata-kata itu membuat sang anak lebih tenang. Kakak pemandunya sudah datang. Yang membawa kunci kamar itu memang kakak pemandunya. Kunci yang tadinya dibawa di saku, segera dia keluarin untuk membukakan pintu kamar kelompok panduannya.


Setelah masuk kamar, anak itu duduk di kasur. ”Kamu nggak apa-apa? Kenapa nangis? Sakit? Udah, nggak apa-apa...” Pemandu itu dengan senyumnya yang tenang sesekali ngelus punggung anak itu. Air mata anak itu berkurang. Matanya yang tadi merah basah sekarang udah lebih cerah. Tapi mendadak matanya ngelihat seseorang di deket pintu. Anak yang tadi mukul dia tiba-tiba datang.


”Tadi kalian berantem ya? Udah. Sekarang kalian maaf-maaf-an,” kata kakak pemandu itu. Anak yang mukul tadi terus ngulurin tangannya untuk bersalaman. Sedangkan anak yang tadinya nangis nggak cuma diem. Mereka pun akhirnya salaman.


”Nah, gitu. Sekarang nggak usah berantem lagi, ya. Yuk, kita kumpul lagi ama temen-temen yang lain. Kita mau jalan-jalan nih!”


----



NUANSA. Setelah jadi peserta, lalu penggiat, dan sekarang paripurna (jadi ngerasa agak tua...), masih sering kangen ama suasana NUANSA yang nggak akan pernah hilang di ingatan. Keluarga. Kehangatan. Senyum. Tertawa. Betapa asyiknya rasa capek setelah kegiatan (hehe... PUAS gitu loh!!). Bisa senyum-senyum sendiri kalo inget gimana frustasinya temen-temen panita ketika rafia games spyder web rusak ditarik-tarik ama adik-adik kelompokku. Dilarang, eh, malah tambah garang. Hampir putus tali rafianya. Keliatan banget muka kesel dan bete penjaga posnya. Dia betul-betul marah. Udah susah-susah dibuatnya, malah rusak dalam sekejap.


Capek. Kesal. Kesel. Kesel awake dan kesel atine. Tapi nggak kapok-kapok ya? Apa ini gejala masochist? Ternyata nggak. Aku dan temen-temen melakukannya karena sesuatu. Ada sesuatu dalam diri ini yang ngebuat kami nggak pernah kapok dengan capek dan bosan dengan letih. Cinta kami.


Kalau ada yang ngerasa NUANSA udah berubah dan nggak seperti dulu, maka cintaku nggak akan berubah. Aku udah terlanjur cinta. Cinta pada pemandu yang dulu menemaniku. Cinta pada anak yang dulu kupandu.


”Kita masih bisa ketemu nggak, ya, mas?” kata Irwan, salah satu anak bengal kesayanganku. Cinta pada temen-temen NUANSA karena nggak bosen mencintaiku (boleh ’kan ge-er?). Cinta pada ALLAH yang udah menjadikanku berada diantara orang-orang hebat. Mas Duma. Mbak Genia. Mas Wahyu. Budi. (Kok jadi absen Kepsek NUANSA?) Maka sekarang giliranku berbagi cinta yang dulu mereka bagi kepadaku. Meski saat ini hanya berupa cerita masa laluku yang nggak akan bisa aku lupa.


Temen-temen, adakah yang bertanya:”Apa yang (bakal) kudapat dari NUANSA?” Kalau aku sih belajar banyak hal dari NUANSA. Sudah 10 tahun aku belajar darinya. Sejak kelas 6 SD hingga hari ini. Satu diantaranya adalah belajar bahwa untuk mencintai tidak harus selalu dicintai. Cinta yang kurasakan di NUANSA...


Cinta itu yang selalu mengingatkanku. Bahwa NUANSA bukan sekedar keluarga. Bukan sekedar tempat belajar. Bukan sekedar tempat bermain. NUANSA adalah satu diantara cara Allah mengingatkanku bahwa surgaNya senantiasa menunggu. Melalui cinta tulus orang-orang di dalamnya yang seakan mengatakan:”Ayo kita mengenal cintaNya. Merasakan tiap saat yang dia berikan kepada kita dengan perasaan bahagia. Bahagia karena dia mengijinkan kita untuk mengenalNya. Indahnya Allah bisa kita rasakan kalau di hati kita ada iman...”


Dan ikatan iman itu semakin menguatkan ikatan hatiku dengan NUANSA. Hatiku ingin mengajak kalian mengenal cintaNya melalui cinta orang-orang NUANSA.***

Kamis, 12 Mei 2011

Let “I” know “Me”

There’s a lot of things that I have searched in my life...
One things for sure is that I have to search myself.
I have to discover my WHOLE self:
My Dreams, my potential,
my STRENGTH, my weakness,
my spirit, my likes, my dislikes, my ability, my knowledge,
my skills, my roles, my fear, and my courage

What are my sensitive spots:
What makes me angry!?
Makes me cry.
Makes me happy?
Makes me feel what I feel...

Makes me think, makes me wonder, makes me keep on asking and asking...
Keep on going and going...
And what diverts me?
What can make me out of focus at what i’m doing and trying to achieve?
What’s my ultimate goal and what’s my ultimate barrier??

My..my..what am I?
May I be me or am I just I?
Without no me, myself, or even he.
I am I.
If there is a me or others that is like me,
I understand that it’s just “I” with another disguise.

In the inside there is no difference between I, me, nor myself.
They are all just the same old I... that is been seen from different sides...
So when can I know which one is which?
Should I name each faces of me?
The child, the student, the brother or sister am I?
The fun lover, the hardworker, the do-what-I-want-to-do type of guy?

Or should I try just to be myself?
But the thing is... which one is myself?
Oh darn, me, myself, and I.
Why dont you all just be one thing that a one can recognize?
That way, I wont be such an entity that cant know its identity...

C’mon me, myself, I, and whoever else you are!!
Cant we all just sit together and start to know each one another...
No need to be shy, angry, or even narcisst!!
Because there is no need to lie to one’s own conscience...
Hear me you say, speak to me you may...
as long that you’ll open yourself honestly, i will listen and stay...

(Dynamic Deniz)

Sabtu, 16 April 2011

DEATH - the jump from the living reality to the eternal life



Is it really a lost when someone we know (or even love), dies? Do we think that a passed away friend or beloved is a lost forever or a long farewell?


Even though we Muslims believe that there is an eternal life after death, but what makes us most vulnerable of death is it’s uncertainty. The uncertainty of what kind of fate will occur upon us after death itself. There are parts of myself that is kind of frightened by the idea of how painfull death is (knowing that The Prophet said that death is the ultimate pain in life..), but what makes me really shiver is that there is no guarantee that I wont taste the wrath of torture in hell...in the after-death life. Or even taste the ultimate pleasure in Allah’s heaven...


Life has been so kind. With all its cruelty and agony that it propose to us, it’s real aim is to remind us for a greater life: after death life. How would we know that hellfire is heartshaking if we haven’t seen fire in our entire life? Even havent feel how painfull it is to be burned? And in the contrary, how will we know that heaven is soul soothing if we havent tasted the pleasure of mere cold water through our throat in a hot sunny day? For God’s sake, we cant imagine how demotivated we’ll be to achieve heaven and avoid hell without knowing what it feels to live..


Islam tells us to visit the grave (it is called “ziarah”. You can read it: zeeyarah) to soften the heart. It is as what prophet Muhammad says:


“Visit the grave (ziarahi kuburan), because grave makes you remember the life hereafter (akhirat).”


(rendered by Muslim, An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, and Al-Hakim)



Visiting the graves of the descendants before us makes us remember. Remember that whether someone is rich or poor, strong or weak, famous or exiled, powerful or commoner, they are all the same. They will all die. So will us.


We cant bring anything to our graves except our deeds. Whoever is full of good deeds, his grave will be as lovely as the garden of heaven. Whoever is full of bad ones, his grave will be as excruciating as the pit of hell.


So, LIVE. Live your life with love... Love your life lively. But remember to love a greater love that emits our life. Love the greatest part of life. Not the life itself, but the One who has gifted life to us based on true love and care...


Love the One that has made you feel, understand, and truly comprehend of what life is truly for... By that He is the Greatest...


And as his servants, it is our honour to submit our life back to Him again...


Aware that our lives are truly His. That our lives is His and to Him we will return to...


Inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun


In memorium of a dearest friend, Trapsilo


Passed away on May 4th 2008


In a young age (about 20) by a traffic accident


Rests at Pare, Kediri


May Allah forgive him and grant him a good place by His side. Hope we will meet him again in Heaven...***



Notes


Dr. Najih Ibrahim wrote a book that is dedicated to Islam activists with the title “Risalatun ila Kulli man Ya’malu lil Islam”. This book was translated in Indonesian by Fadhli Bahri, Lc. In June 2003. The Fifth print was on August 2005. The indonesian version was titled “Taushiyah untuk aktivis Islam” (Remembrance for Islam Activists).


In this book, several ways are stated about how to renew or regenerate iman (or faith). You can see it in page 191. From 6 of the ways that Dr. Ibrahim wrote, one of them was Visiting the grave (ziarah kubur). See page 200 – 202.